اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Cari Blog Ini

Kamis, 02 Februari 2012

DI MANA BERAKHIRNYA SASTRA INDONESIA?

      DPDS HB Jassin terancam gulung tikar karena negara terus berpaling dalam 3 tahun terakhir, sejak 2007. Uang untuk merawat 50 ribu buku yang terbit mulai awal 1900-an hingga kini itu terus menyusut. Terakhir, lembaga yang berada di bawah kepengurusan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin itu hanya menerima uang sebesar Rp 50 juta per tahun.Tentu, angka tersebut relatif sangat kecil dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dirogoh untuk menghidupi 14 karyawan, dan membiayai perawatan dokumen-dokumen yang ada. Maka, melalui Pemda DKI, pengurus PDS HB Jassin mengajukan anggaran dana sebesar Rp 1 miliar per tahun. Tentu pihak pengurus HB Jassin tidak asal sebut angka. Banyak yang harus diperbaiki agar pusat dokumentasi sastra terlengkap di Tanah Air itu tetap hidup.Ditemui detikhot di kantornya di PDS HB Jassin, Kepala Pelaksana Harian PDS HB Jassin Ariany Isnamurti menegaskan tekadnya untuk terus berjuang mempertahankan rumah sejarah sastra Indonesia itu.� Ariany merasa, keberadaan dan kelangsungan hidup PDS HB Jassin memang layak dan harus dipertankan."Ini satu-satunya lembaga yang mendokumentasi sastra, khususnya sastra Indonesia. Orang kalau mencari dokumentasi sastra, tidak usah ke Belanda, cukup di sini sudah sangat lengkap," ujarnya.Pusat dokumentasi yang didirikan oleh sastrawan dan kritikus sastra HB Jassin itu bisa dikatakan satu-satunya tempat yang menyimpan puluhan ribu karya sastra. Detailnya, ada 16.816 judul buku fiksi, 11.990 judul buku non fiksi, 457 judul buku referensi, 772 judul buku/ naskah drama, 750 map biografi pengarang, 15.552 kliping, 610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan desertasi, 732 kaset rekaman suara, dan 15 buah kaset rekaman video."Itu belum termasuk dokumentasi sastra yang baru datang, dan belum terolah atau belum dirapikan. Bayangkan saja, kurang lebih 50 ribu karya sastra, sekitar 40 persen masih berada dalam dus, belum dikeluarkan," terang perempuan berkacamata itu."Lihat saja ke dalam (perpustakaan), bagaimana kondisi buku-buku itu. Saya tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Banyak yang tidak terurus dengan baik," tambahnya seraya menunjuk dan mempersilakan detikhot untuk melihat sendiri sebuah ruangan ber-AC, berukuran 500 meter persegi itu.Berantakan! Itulah kata yang pas untuk menggambarkan kondisi ruangan itu. Berjalan menyusuri puluhan rak di ruangan itu, yang terlihat hanya buku-buku yang tersusun tak rapi, dan kecokelatan dimakan usia. Banyak juga buku-buku yang tidak mendapat tempat hingga harus diletakkan sembarangan. Buku-buku yang sobek juga tidak kalah banyaknya. Terlihat, salah satunya, buku 'Di Bawah Jembatan Gantung' yang berangka tahun 1983 karangan Ali Audah. Koyak-moyak dan memprihatinkan.Di sisi lain, koran-koran bertumpuk bertebaran di lantai, sepertinya siap dikliping namun terbengkalai, tak tertangani dengan baik.� Masih bernasib sama, novel-novel yang terbit di era 2000-an pun tidak sempat mencicipi nyamannya rak buku HB Jassin. Karena tempatnya tidak muat, ratusan novel tersebut hanya dibungkus kardus dan ditumpuk di sudut ruangan.Setiap bulan, pasti ada penambahan, dan semakin tak terurus. Mau ditaruh di mana? Itulah pertanyaannya. "Buku terus bertambah, dan itu harus. Tapi, rak tidak bertambah. Untuk memberikan tempat untuk buku baru, itu kan harus ada rak lagi, map, dan sebagainya. Itu dari mana dananya?" dengan sedih, Ariani seperti bertanya pada dinding.Sebenarnya ada satu solusi: digitalisasi. Karya-karya lama itu di-scan dengan harapan 100 tahun ke depan masih bisa dibaca lewat digital. Sedangkan, karya aslinya disimpan dan jangan banyak disentuh karena mempengaruhi awetnya kertas buku atau dokumen tersebut. Kalau masyarakat ingin melihatnya, cukup disodori CD, dan dibuka di komputer. Tapi?"Tapi, bagaimana? Komputernya saja tidak ada, scan-nya tidak ada. Mana bisa? Saya saja sulit membayangkan kalau ditanya proses digitalisasi itu," sergah mulai agak emosional.Dengan kata lain, balik lagi, ujung-ujungnya adalah soal pembiayaan. Sebenarnya, beberapa tahun lalu, PDS HB Jassin mendapatkan dana abadi dari sebuah perusahaan minuman ringan untuk proses digitalisasi itu. Namun, persoalan berikutnya menghadang: sumber daya manusia. Dengan 14 pegawai, akhirnya hanya 1 persen karya yang berhasil digitalisasikan."Untuk menambah pegawai itu sulit, susah mencari orang yang ingin mengabdi di sini dengan sepenuh hati," ujar Ariany menekankan kata 'mengabdi' karena memang begitulah kenyataannya. Dana Rp 50 juta per tahun dari pemerintah hanya cukup untuk operasional selama sebulan. Cukup bahkan bukan kata yang tepat."Untuk 14 pegawai itu digaji total Rp 11 juta. Tiap hari uang makan mereka Rp 50 ribu untuk 14 orang itu. Belum lagi untuk perawatan dan pemeliharaan," paparnya sambil berjalan dan sesekali berhenti di salah satu rak, lalu menatap kosong ke ujung lorong.Mungkin dalam benak Ariany bergambar, perkembangan sastra 5 tahun terakhir yang� cukup menggembirakan di luar sana. Banyak novelis dan sastrawan muda bermunculan. Koran dan majalah tiada henti menyiarkan cerpen dan puisi. Namun, akan ke mana karya-karya itu nanti? Hilang begitu saja tanpa sempat menjadi sejarah? (SUMBER:DETIKHOT)

1 komentar: